Hitam menggenang. Sungai Dusun Kedungsari tengah mati suri.
Mari suri dengan ketabahan tinggi. Tabah menunggu hujan yang tak kunjung
tumpah. Tabah menerima peran sebagai penanggung sampah. Tabah tanpa desah. Tapi sungai itu belum mati. Ya, hanya saja dehidrasi.
Dehidrasi berat, karna tak henti dicekoki.
Jam di masjid Baitul Mustaqim berdentang 2 kali, merobek
kesunyian desa. Matahari kukuh beringas. Istiqamah
memanggang bumi. Rerindangan bambu melindungiku dari pandangan matahari. Aku belum beranjak di
bibir sungai. Mataku menyapu pandang ke seluruh tubuh sungai yang tersakiti. Hatiku tak kuasa
menghujat perbuatan jahil insani ini. Mungkin inti bumi juga tak kuasa
menyumpah nyerapahi apa yang terjadi. Ya, skala kebobrokan kecil dari kenyataan
‘pekarangan’ dunia yang awut-awutan.
Tapi tunggu dulu. Mungkin sungai ini
masih bisa tersenyum. Atau setidaknya merasa berguna. Karena gerombolan
kangkung yang menghijau,
sejahtera berpopulasi di sini. Ya, walaupun harus ikut dicampakkan, karena tumbuh diatas genangan sungai yang
kumuh. Pun dengan katak-katak yang nyaman beranak-pinak. Sementara itu, agaknya
mikroorganisme dekomposer masih bersusah payah membantu menguraikan polutan
sampah yang tak kunjung enyah. Berbagai rupa kaleng, botol, plastik, dan karet,
serta bangkai-bangkai rerumputan terlantar di sana-sini. Semua bergabung dalam
ekosistem teracuhkan.
Dari arah utara, di puncak anak tangga jembatan sungai, terbit Bulek
Yayuk. Tangan lusuhnya tengah bekerja
keras membopong ereg1 yang
penuh dengan limbah rumah tangga. Lalu memposisikan diri di pinggir jembatan.
Seolah tanpa dosa, ia menumpahkan ereg
itu 1800 ke dalam sungai. Sejurus kemudian dipukul-pukulkannya ereg itu, memastikan tak ada sampah yang tertinggal. Tiba-tiba kami
bertemu pandang.
“Nganu paran iro neng
kono Sulpay…?3” teriak Bulek
Yayuk. Kebiasaan orang Osing2 menyebut nama yang berhuruf ‘f’
menjadi ‘p’ dan akhiran huruf
‘i’ di baca ‘ay’. Namaku jadi berantakan.
“Ningali kali mawon.
Sampae kari katah. Kok saget ngresek mekoten nggeh4” sindirku.
“Alah, suwi-suwi yaro
diterak banyu. Gedigu baen kok repot,5” jawabnya kalem.
“Kapan mikire mekoten nggeh banyune tambah tercemar Bulek. Kualitas banyune tambah mboten eco. Masyarakat mengke gampang penyakiten6,” tukasku.
“Alah, kemeruh iro iku!7”
sengitnya. Dengan pandangan sinis di bawah alis tebal, ia selanjutnya
membanting muka, kembali ke peraduannya.
Begitulah Bulek
Yayuk, satu diantara mayoritas warga yang tak libur menabung sampah di sungai
ini. Entahlah, bagaimana meluruskan jalan pikiran warga sepertinya. Andaikan
suaraku lebih didengar!
Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan
karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian
dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar (Q.S.
Ar-Ruum:41), firman
Allah memotong lintasan pikaranku. Ayat ini Berulang kali dilantunkan Bapak, kala bosan
mengunyah pemberitaan di TV tentang kerusakan lingkungan. Sembari beristigfar
berulang kali.
Hanya harap yang kini mengalir di sungai Dusun Kedungsari.
Harapan untuk hidup kembali. Walaupun hidup untuk melindungi warga, agar air
tak meluap ke persinggahan mereka. Walaupun hidup untuk menafkahi warga, dengan
ikan-ikan yang rela terasingkan diatas kompor menyala. Walaupun hidup sebagai
tempat pengaduan
warga, yang mencurahkan isi perutnya.
Di belahan bibir sungai yang lain, asap tebal telah
mengepul. Tumpukan-tumpukan sampah menyala-nyala. Pelakunya tak lain adalah Mbah Jam’an.
Mungkin beliau sudah muak melihat sampah yang menggunung sampai di pinggir sungai. Beliau rela
mengasapi dirinya sendiri. Tubuhnya yang kurus jangkung lebih nampak seperti
ikan asin yang telah mengkerut. Dibingkis dengan kaos kutang putih yang bolong
dimana-mana, celana tiga perempat bermotif TNI-AD yang kedodoran dan topi koboi
coklat kusam.
Mungkin, niat hati ingin mengurangi penderitaan sungai, tapi tingkah Mbah
Jam’an justru mengundang petaka baru.
Pasalnya, arwah sampah-sampah itu menjelma menjadi polutan udara. Karbon
dioksida (CO2), karbon monoksida (CO), dan partikel pembakaran
sampah yang lain melayang-layang di udara. Jelmaan momok yang tak segan menikam para
penikmat oksigen.
Asap-asap itu sekarang lebih luas berekspansi. Membaur
bersama aroma busuk sungai Dusun Kedungsari. Tak mau terserang, aku segera
angkat kaki dari ekosistem teracuhkan ini.
***
Sore berasap. Menyesakkan dada. Semangkuk kemenyan, sepiring
kembang berupa-rupa dan segelas air kelapa muda tersaji di rumah Bulek Yayuk. Mbah Joyowarno, Dukun
terkemuka seantero desa karna kesangarannya, hadir eksklusif mengobati penyakit
aneh Judin.
Dengan seragam dinas hitam-hitamnya, Mbah Joyowarno memulai
menyanyikan mantranya. Mungkin judul mantranya ‘diam tanpa kata’. Hanya
kumat-kamit tanpa suara dan mengangguk-ngangguk dengan khusuknya. Ah, entahlah.
Aku lebih simpati dengan keadaan Judin. Wajahnya pucat, tampak kurang darah.
Kelihatan lesu dan kurang bersemangat. Badannya yang kurus kerempeng
menampakkan ruas-ruas tulang rusuknya dengan jelas. Matanya cembung dan
pandangannya sanyu. Sementara perutnya yang semakin buncit terus ditepuki Mbah
Joyowarno.
Bulek Yayuk hanya bisa duduk tersipu, memandangi anak sulungnya terbaring layu. Fani, adik Judin yang masih duduk di bangku PAUD, harus rela menerima pelampiasan
kecemasan Bulek Yayuk yang
mendekapnya erat-erat. Energi simpatiku dan Bapak yang menjenguk, tak henti
terumbar.
“Ck… ck… ck…. iki asli
nduk, asli temenan ikay. Keneng santet ikay….8” Mbah menerangkan
hasil ‘observasinya’ kepada bulek Yayuk.
“Terus kepundi Mbah?9”
tanya Bulek.
“Aduh kudu mbeleh
wedos ikay. Wedos cemeng hang durung kawin, tenga-tengae tuwek ambi enom.10”
jawab Mbah.
“Insya Allah Mbah.
Kulo usahakaen11.” jawab Bulek.
Kasihan Bulek. Bagaimana ia bisa membeli wedus hitam? Bagi
seorang janda yang tidak mempunyai WC di rumahnya tentu berat.
“Wes tenang dek, hon
tulungay,12” Bapak angkat bicara.
“Kesuwon kang.13”
tutur Bulek.
Pukul 5. Aku
dan Bapak bergegas
pulang. Lega rasanya merdeka dari sengatan bau kemenyan.
***
Ahad, pukul 9. Sanggar Bhakti14
Saka15 Bakti Husada (SBH)16 di Puskesmas Kebaman,
Kecamatan Srono jadi persinggahanku. Ya, jadwal rutinitas mengikuti pelatihan. Impian
kelak menjadi menteri kesehatan republik ini menjadi asaku mengikuti SBH
ketimbang tujuh Satuan Karya (Saka) Pramuka Nasional yang lain. Ya, dari pada Saka
Bhayangkara, Saka Wira Kartika, Saka Bahari, Saka Dirgantara, Saka Taruna Bumi,
Saka Wanabakti dan Saka Kencana. Tambahan pula, mimpi merombak kampung kumuh di pinggir kali
Kedungsari jadi motivasi membuncah.
Kali ini adalah pembagian krida17. Aku mendapatkan krida penanggulangan
penyakit. Segera ku buka buku materi. Kulangkahi lembaran demi lembaran bisu. Entah
mengapa, aku teringat keadaan Judin. Ah, kasihan dia. Kenapa santet bisa nongkrong di tubuh gepeng-nya.
Aduh,
sangking kepikirannya,
tubuh Judih sampai mampang di buku materiku. Ku coba fokus ke materi. Ku
kucek-kucek mata ini. Ku usir bayang-bayang Judin yang bergelantungan di
kelopan mataku. Tapi tak juga enyah.
Tunggu dulu, pikirku. Ini 100 persen nyata. Ada gambar seonggok anak yang
keadaannya persis keadaan Judin. Wah, ini dia yang dimaksud Mbah Joyowarno
dengan santet. Duh, duh, duh, kenapa harus Judin yang menjadi tumbal kebobrokan
Bulek Yayuk? Terbaca “Syarat Kecakapan Khusus ‘Penyakit Cacingan”.
“Adik-adik sekalian. Sekian pertemuan kita hari ini. Silahkan pelajari
materi masing-masing di rumah. Kita
lanjutkan Ahad depan. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.” Kak
Subagyo, instruktur kami menutup forum.
Aku segera menghampiri kak Bagyo. Tanpa basa basi ku muntahkan
semua cerita tentang Judin. Kak Bagyo menanggapi demikian pula. Segera kami
menuju rumah Bulek Yayuk.
***
Pukul 10.30. Aku dan kak Bagyo tiba di rumah Bulek Yayuk. Segera ku jelaskan maksud dan tujuan kami. Kami pun
masuk menemui Judin.
“Ana’e
njenengan cacingen bu. Niki kapan mboten cepet-cepet diselametaken, bahaya.18”
“Nggeh,
ngeh pak. Matur nuwun pon repot-repot meriki.19”
“Nggeh
sami-sami. Samean kesuwon teng dek Sulfi mawon bu. Seng nggowo kulo meriki.20” Jawab kak Bagyo sambil menunjukkan
jari ke arahku.
“Kesuwon
lek lan hon njaluk sepurone!21” ujar Bulek dengan mata berkaca-kaca.
“Sami-sam buleki22.” jawabku singkat.
Judin yang sudah bernafas kendat-kendut,
bergegas diangkut ke mobil tugas kak Bagyo. Meninggalkan ekosistem teracuhkan. (Dian
Ali/GPM)
Catatan
:
1 Keranjang bambu berbentuk setengah lingkaran.
2 Penduduk suku asli kabupaten Banyuwangi.
3 Sedang apa kamu disitu Sulfi?.
4 Lihat sungai saja. Sampahnya banyak sekali. Kok bisa begini ya?
5 Alah, lama-lama kan diterjang air. Gitu aja kok repot,
6
Kalau mikirnya begitu ya airnya tambah tercemar Bulek. Kualitas airnya tambah tidak bagus. Masyarakat nanti gampang penyakitan,
7 Alah sok tau kamu itu.
8 Ini asli nak. Asli sekali ini. Kenak santet ini,
9 Terus Gimana Mbah?
10
Aduh, harus menyembelih kambing ini.
Kambing hitam yang belum kawin. Tengah-tengahnya antara tua dan muda,
11 Semoga Allah mengijinkan Mbah. Saya usahakan.
12
Sudah tenang dik. Saya bantu.
13 Terima kasih kak.
14
Ruangan atau tempat yang dipakai
anggota-anggota satuan karya (Saka) guna mengadakan kegiatan atau pertemuan.
15
Wadah pendidikan kepramukaan guna
menyalurkan minat, mengembangkan bakat dan meningkatkan pengetahuan, kemampuan,
keterampilan dan pengalaman para Pramuka dalam berbagai bidang kejuruan, serta
meningkatkan motivasinya untuk melaksanakan kegiatan nyata dan produktif
sehingga dapat memberi bekal bagi kehidupan dan penghidupannya, serta bekal
pengabdiannya kepada masyarakat, bangsa dan negara, sesuai dengan aspirasi
pemuda Indonesia dan tuntunan perkembangan pembangunan, dalam rangka
peningkatan ketahanan nasional.
16
Wadah pengembangan pengetahuan,
pembinaan keterampilan, penambahan pengalaman dan pemberian kesempatan untuk
membaktikan dirinya kepada masyarakat dalam bidang kesehatan. Pembinaan Saka
Bhakti Husada bekerja sama dengan Dinas Kesehatan.
17 Satuan
kecil yang merupakan bagian satuan karya Pramuka, sebagai wadah kegiatan
keterampilan tertentu.
18 Anak Anda cacingan bu. Kalau tidak cepat-cepat diselamatkan, bahaya.
19 Ya. Ya pak. Terima kasih sudah repot-repot kesini.
20 Ya, sama-sama. Anda terima kasih kepada dik Sulfi saja bu.
Yang bawa saya kesini.
21 Terima kasih dek, dan minta saya maaf.
22 Sama-sama bibi.
*) The top 50 Cildern
Helping Cildern (CHC) 2012
Kerja sama Forum Lingkar Pena (FLP) dan
Tupper Ware
0 komentar:
Posting Komentar