Kamis, 24 Oktober 2013

“Mulailah menulis hal-hal yang kau ketahui. Tulislah tentang pengalaman dan perasaanmu sendiri. Itulah yang saya lakukan.” (J.K. Rowling)

Jika almarhum Boden Powel (B-P) masih hidup dan mendengar kata "mbak" Rowling di atas. Agaknya, dengan lantang beliau berkata, “SETUJUUU.... !!!” He..., he....
Kalau mengingat buku B-P yang berjudul “Aids to Scout”, imajinasi itu sah-sah saja. Ya, buku tersebut merupakan kumpulan cerita pengalaman B-P selama menjalankan tugas sebagai tentara, dengan tujuan memberikan petunjuk kepada tentara muda Inggris agar dapat melakukan tugas penyelidikan (investigasi kemiliteran) dengan baik.
Mr. William Smyth seorang pemimpin Boys Brigade (tentara muda) di Inggris menilai buku yang ditulis B-P itu sangat menarik. Ia kemudian meminta agar B-P bersedia melatih anggotanya. Ketika itu Baden Powell pun langsung menerima tawaran Mr. William Smyth. Dua puluh satu pemuda dikumpulkan dari kesatuan Boys Brigade yang berada diberbagai wilayah di Inggris untuk melakukan perkemahan dalam rangka pelatihan di Pulau Brown Sea yang dilaksanakan pada tanggal 25 Juli – 02 Agustus 1907. Perkemahan di Pulau Brown Sea tersebut menjadi cikal bakal kepanduan dunia dan menjadi kegiatan kepanduan pertama di dunia dalam catatan sejarah (pramukatbz.blogspot.com).
Di tahun berikutnya Baden Powell berupaya menyebarluaskan organisasi kepanduan ke seluruh dunia dengan cara menerbitkan buku berjudul “Scouting For Boys”. Kini Ada lebih dari 30 juta Pramuka, remaja dan dewasa, anak-anak, di 161 negara. Hanya  6 negara tanpa Pramuka (scout.org). Perkembangan yang signifikan bukan. Lagi-lagi diawali oleh pemikiran briliyan yang terukir dalam goresan pena. Tersebar dan merubah dunia. Ya, kepanduan tersebar dengan tulisannya. B-P terbilang penulis yang produktif. Sekitar 40 judul buku telah dilahirkan dari penanya. Ya, B-P sejatinya menjadi uswatun hasanah dalam kepenulisan bagi kita.

Jumat, 18 Oktober 2013

Sahabat ZoKa,,

pernah nggak tersirat dibenak kalian makhluk apa yang diciptakan Allah swt?

Ya, jawabannya adalah Al-Qalam (pena). Ini dijelaskan dalam hadits berikut,
“Sesungguhnya mahluk yang pertama kali Allah ciptakan adalah Al-Qalam (pena), kemudian Allah berfirman kepadanya: Tulislah! Kemudian Al-Qalam berkata: Wahai Rabbku, apa yang aku tulis? Allah berfirman: Tulislah taqdir segala sesuatu sampai datang hari kiamat.” (HR.Abu Dawud dan dishahihkan Syeikh Al-Albany).

Pramuka sudah tidak relevan, pramuka hanya sekedar tepuk-tepuk, nyanyian, dan permainan? Maukah praja muda sekalian dicap demikian? Padahal jika ditelisik, belum ada kiranya organisasi yang berperan sekompleks Gerakan Pramuka bukan? Lihat saja, berbagai sektor kehidupan yang tercakup dalam kepramukaan. Mulai moralitas yang termaktub dalam satya dharma, live skill dalam TKU dan TKK dalam gudep, serta krida dalam saka, leadership, pola pendidikan, dan lain sebagainya.

Oleh karena itu, perlu digencarkan media jurnalistik pramuka (scout journalism). Dibutuhkan agen-agen penyampai pesan-pesan luhur kepramukaan. Serba-serbi pramuka yang sangat kompleks perlu di-share ke khalayak, sehingga tidak terkesan sempit seperti yang distigmakan. Belum lagi berbagi rupa perasaan dan keseruan dalam berpramuka.  Sayang sekali jika hanya disimpan dalam memori sendiri.  Tindak tanduk perjuangan kini akan menjadi prasasti yang dikenang nanti. Bianglala Keasyikan dan keseruan selama terjun dalam berbagai kegiatan kepramukaan akan tersebar dan terdokumentasikan.

Minggu, 18 Agustus 2013




Lima puluh dua tahun silam (14 Agustus 1961), Gerakan Pramuka resmi diperkenalkan kepada khalayak. Semua organisasi kepanduan disatukan untuk merebak kungkungan kolonialisme, komunisme, fanatisme kedaerahan, dan politik praktis, serta mengisi pembangunan. Euforia dan antusiasme meledak. Gerakan Pramuka memperoleh tanggapan positif dari masayrakat luas. Dalam waktu relatif singkat, organisasi ini  berdiri dari kota sampai di desa.

Pasca peristiwa G.30.S/PKI meledak, dalam sekejap terjadi suatu revolusi sosial dengan timbulnya orde baru yang menuntut pemurnian Undang-Undang Dasar 1945 (1 Oktober 1965). Gerakan Pramuka juga tidak ketinggalan untuk menyesuaikan diri dan menyerasikan pelaksanaan tugas pokoknya dengan perkembangan masyarkat Indonesia pada waktu itu.

Langkah cerdas dilakukan. Dengan melihat realitas prosentasi terbesar rakyat Indonesia

Rabu, 08 Mei 2013

                  
Allah! Tuhan yang tak disangkal sejarah. Raja di raja dengan kedigdayaan tanpa lini batas. Maha guru ulung yang mengajarkan manusia dengan qalam (Al-Alaq: 4). Rabb yang mengajarkan manusia yang notabene lemah dan miskin hikmah. Ilmu dan hikmah-Nya tak seorangpun yang kuat menginventarisasi. Ya, walaupun pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah (Q.S. Lukman: 27).
Bila kita membicarakan tentang Allah dan qalam-Nya –yang disebutkan beberapa kali dalam al-Qur’an— setidaknya dapat dipahami dua interprestasi. Ya, yakni kedahsyatan pena sebagai simbol media tulis dan simbol ilmu pengetahuan. Pertama, pena sebagai simbol media tulis berarti mencerminkan alat luar biasa. Sejarah yang membuktikan. Kita harus berterima kasih kepada penulis-penulis zaman kuno. Kita bisa mengetahui dan mempelajari peradaban-peradaban kuno dari lembaran dan bongkahan artefak yang ditemukan para antropolog. Demikian pula pada masa keemasan Islam. Kala itu tidak lepas dari karya-karya ilmuan Yunani yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab pada masa  khalifah Harun Ar-Rasyid yang mencapai puncaknya pada masa khalifah al-Ma’mun.
Kedua, pena sebagai simbol ilmu pengetahuan. Dalam lintasan sejarah, posisi ilmu sebagai kebutuhan super pokok manusia tidak dapat disangkal. Jumawanya peradaban bangsa-bangsa di tiap zaman sangatlah ditopang oleh keilmuan yang mapan. Sivitas masyarakat sebagai kesatuan majemuk dengan interaksi individunya akan berjalan harmonis jika diiringi kematangan ilmu. Ilmu memang memiliki unsur dari apa yang selama ini kita pahami sebagai pengetahuan. Tetapi, ia juga mengandung dari apa yang selama ini dideskripsikan sebagai hikmah. Di samping itu, ilmu dalam Islam juga memiliki aspek dari ibadah dan memiliki tujuan untuk menjadi khalifah fil ardh, manusia yang diserahi amanat Tuhan untuk mengelola dan memelihara alam. Oleh sebab itu kita memiliki tanggung jawab berat di hadapan Allah (Zainuddin: 2003). Melihat interpretasi di atas, maka semestinya kiblat budaya pena berada pada umat Islam. Tapi realitasnya sepertinya tidak mengatakan demikian.
“Barang siapa menguasai media, dia akan menguasai dunia”, demikian bunyi salah satu pepatah modern. Telah banyak contoh dahsyatnya kekuatan media (pers) dalam mengantar perubahan dunia. Begitu besarnya pengaruh media dalam mengendarai wacana dan dukungan publik. Dalam penguasaan media, umat Islam cenderung kalah. Media-media besar dunia kebanyakan berasal dari Barat. Ironinya, media Barat tersebut didominasi oleh nonmuslim. Seperti di Amerika Serikat (AS). Negara adidaya dengan kebijakan yang memiliki pengaruh kuat dalam percaturan dunia ini medianya banyak ditunggangi para Zionis Yahudi. Seperti kesimpulan kajian yang dimuat di situs natall.com: “Kapan pun Anda menonton televisi, sekalipun stasiun penyiaran lokal yang kecil atau via televisi kabel atau satelit; kapan pun Anda menonton film feature di teater atau di rumah; kapan pun Anda baca surat kabar, buku, atau majalah. Semua informasi atau hiburan yang Anda terima itu diproduksi dan/atau disebarkan oleh media-media milik orang Yahudi.”
Tak ayal wacana Islamophobia begitu mudah dikonsumsi warga AS. Gerakan-gerakan anti-Islam di berbagai daerah akibat buta dengan sumber utama Islam tidak terelakkan. Tambahan pula, tatanan dunia baru (new order) yang digadang-gadang para anak-anak Yahweh itu pun menemukan supermasinya. Bayangkan, betapa mudahnya mereka mengintimidasi media yang mayoritas asetnya dikuasai untuk menyampaikan doktrin-doktrin yang tak jarang memojokkan Islam. Mengerikan bukan?
Senada dengan yang kita alami di Indonesia. Tidak heran bila kelakuan kebanyakan masyarakat tidak Islami. Tetapi lebih kebarat-baratan, atau juga agaknya lebih kejepang-jepangan atau malah kekorea-koreaan. Padahal aktor di dalamnya kebanyakan tidak pernah belajar ngaji sejak kecil bukan? Dan tingkah lakunya juga nyeleweng dengan etika Islam. Lha, muda-mudi Islam yang sudah ngaji dari kecil malah ikut-ikutan berpenampilan dan berkelakuan seperti aktor-aktor nonmuslim. Ya, lagi-lagi ini karena ulah media.
Peradaban Arab yang notabene merupakan kiblat ajaran Islam malah jarang kita temukan di layar televisi dan lembaran koran. Bahasa Arab yang merupakan bahasa Nabi Muhammad SAW, bahasa al-Qur’an, dan bahasa kita kelak di surga (HR. At-Thabrani) juga langka kita jumpai di media. Kita takhluk dengan media yang tidak seiring dengan ajaran Islam. Kita jadi lebih akrab dengan budaya sampah (negatif) nonmuslim. Ironinya, hal ini seolah menjadi kebiasaan yang sudah tidak dipermasalahkan (kebanyakan masyarakat).
Hal yang terpenting adalah bagaimana kita selaku umat Islam meningkatkan kesadaran kita dalam berbudaya pena dan berdakwah lewat tulisan. Ya, semampu kita. Walaupun masih dalam lingkup sederhana. Semisal memanfaatkan facebook dan twitter. Lebih-lebih jika aktif memposting di blog dan website dengan tulisan yang Islami dan mencerahkan. Lagi pula, internet menjadi media yang ampuh dalam penyebaran gagasan bukan? Mengingat lingkup pembaca nasional bahkan internasional. Apalagi bila aktif ikut serta dalam peluncuran buletin, majalah, koran dan lainnya. Lebih-lebih menulis buku. Wah, insya Allah pundi-pundi pahala dan rezeki Anda akan bertambah. Ya, Mari jadi mujahid pena Allah. Wallahu a’lam. (Kak Dian Ali)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’anul Karim

Zainuddin, Drs., MA. 2003. Filsafat Ilmu: Perspektif Pemikiran Islam. Malang: Bayumedia Publishing.

Selasa, 05 Februari 2013


 “Barang siapa menguasai media, dia akan menguasai dunia”, demikian bunyi salah satu pepatah modern. Telah banyak contoh dahsyatnya kekuatan media (pers) dalam mengantar perubahan dunia. Begitu besarnya pengaruh media dalam mengendarai wacana dan dukungan publik.
Pihak-pihak tertentu di berbagai sektor kehidupan yang digandeng media cenderung memenangkan persaingan. Kemajuan suatu perusahaan dalam memasarkan produknya tak lepas dari campur tangan media. Kita akan berbondong-bondong membeli suatu produk yang telah diiklankan dengan bombastis dalam media cetak atau elektronik. Sebaliknya kita akan mempertanyakan kelayakan suatu produk yang tidak ada iklannya, atau miskin publikasi. Ya, walaupun berkualitas. Kita secara tidak sadar tengah dikelabuhi dengan penyamaan cita rasa yang sesuai dengan “titipan” pihak tertentu di belakang media. Seperti yang dikatakan......
Perilaku kita keseharian pun tanpa sengaja telah disetir oleh media. Suka tidaknya kita pada sesuatu. Pantas atau tidak. Bahagia atau tidak. Cantik atau tidak. Semuanya seolah berkiblat pada gambaran media. Coba lihat saja tipe wanita yang ideal di masyarakat (kebanyakan). Bodinya seksi, pakainya banyak fentilasi, rok dan celananya mini (ukurannya menyaingi celana pendek pemain sepak bola, mungkin emansipasi, he, he), hp-nya blackbery, sepatu dan tasnya merk luar negeri, model rambutnya mirip katty pery. Kriteria semua itu secara bertubi-tubi merasuk dalam gang-gang pikiran kita lewat berbagai media cetak dan elektronik.

Minggu, 03 Februari 2013

 “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam (pena). Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.... (QS. Al-Alaq (96): 1-5)”
Ayat diatas menyiratkan bahwa membaca dan menulis adalah suatu fitrah manusia. Membaca dan menulis adalah perantara pengajaran Allah atas manusia. Media bagi kita dalam menggali dan menginventarisasi ilmu Allah yang luas tersebar di dunia. Ya, sekiranya lautan menjadi tinta untuk menulis ilmu Allah, maka habislah lautan itu sebelum ilmu Allah habis ditulis, meskipun lautan itu ditambahkan lagi (QS. Al-Kahfi (18): 109).
Semua orang memiliki hasrat untuk meluapkan apa yang ia rasakan dan alami dalam hidupnya. Tapi sering kali kebanyakan orang lupa akan media yang pas untuk menumpahkan perasaannya. Pengalaman yang ia alami sering pula menguap dan terlupakan begitu saja. Padahal Allah swt. telah menganugerahkan kita kemampuan dahsyat, yakni “menulis”.
Ada beberapa penyebab kita sering melupakan atau sengaja melupakan “senjata pena” kita.  Diantaranya yaitu anggapan bahwa kegiatan menulis memerlukan bakat luar biasa. Bakat yang hanya dimiliki orang-orang langka di dunia ini. Menulis akhirnya menjadi aktivitas eksklusif orang-orang-orang tertentu saja.

Kamis, 24 Januari 2013


Hitam menggenang. Sungai Dusun Kedungsari tengah mati suri. Mari suri dengan ketabahan tinggi. Tabah menunggu hujan yang tak kunjung tumpah. Tabah menerima peran sebagai penanggung sampah. Tabah tanpa desah. Tapi sungai itu belum mati. Ya, hanya saja dehidrasi. Dehidrasi berat, karna tak henti dicekoki.
Jam di masjid Baitul Mustaqim berdentang 2 kali, merobek kesunyian desa. Matahari kukuh beringas. Istiqamah memanggang bumi. Rerindangan bambu melindungiku dari pandangan matahari. Aku belum beranjak di bibir sungai. Mataku menyapu pandang ke seluruh tubuh sungai yang tersakiti. Hatiku tak kuasa menghujat perbuatan jahil insani ini. Mungkin inti bumi juga tak kuasa menyumpah nyerapahi apa yang terjadi. Ya, skala kebobrokan kecil dari kenyataan ‘pekarangan’ dunia yang awut-awutan.
Tapi tunggu dulu. Mungkin sungai ini masih bisa tersenyum. Atau setidaknya merasa berguna. Karena gerombolan kangkung yang menghijau, sejahtera berpopulasi di sini. Ya, walaupun harus ikut dicampakkan, karena tumbuh diatas genangan sungai yang kumuh. Pun dengan katak-katak yang nyaman beranak-pinak. Sementara itu, agaknya mikroorganisme dekomposer masih bersusah payah membantu menguraikan polutan sampah yang tak kunjung enyah. Berbagai rupa kaleng, botol, plastik, dan karet, serta bangkai-bangkai rerumputan terlantar di sana-sini. Semua bergabung dalam ekosistem teracuhkan.
Dari arah utara, di puncak anak tangga jembatan sungai, terbit Bulek Yayuk. Tangan lusuhnya tengah bekerja keras membopong ereg1 yang penuh dengan limbah rumah tangga. Lalu memposisikan diri di pinggir jembatan. Seolah tanpa dosa, ia menumpahkan ereg itu 1800 ke dalam sungai. Sejurus kemudian dipukul-pukulkannya ereg itu, memastikan tak ada sampah yang tertinggal. Tiba-tiba kami bertemu pandang.  
Nganu paran iro neng kono Sulpay…?3” teriak Bulek Yayuk. Kebiasaan orang Osing2 menyebut nama yang berhuruf ‘f’ menjadi ‘p’ dan akhiran huruf ‘i’ di baca ‘ay’. Namaku jadi berantakan.
Ningali kali mawon. Sampae kari katah. Kok saget ngresek mekoten nggeh4” sindirku.
Alah, suwi-suwi yaro diterak banyu. Gedigu baen kok repot,5” jawabnya kalem.
Kapan mikire mekoten nggeh banyune tambah tercemar Bulek. Kualitas banyune tambah mboten eco. Masyarakat mengke gampang penyakiten6,” tukasku.
Alah, kemeruh iro iku!7” sengitnya. Dengan pandangan sinis di bawah alis tebal, ia selanjutnya membanting muka, kembali ke peraduannya.
Begitulah Bulek Yayuk, satu diantara mayoritas warga yang tak libur menabung sampah di sungai ini. Entahlah, bagaimana meluruskan jalan pikiran warga sepertinya. Andaikan suaraku lebih didengar!