Rabu, 08 Mei 2013

                  
Allah! Tuhan yang tak disangkal sejarah. Raja di raja dengan kedigdayaan tanpa lini batas. Maha guru ulung yang mengajarkan manusia dengan qalam (Al-Alaq: 4). Rabb yang mengajarkan manusia yang notabene lemah dan miskin hikmah. Ilmu dan hikmah-Nya tak seorangpun yang kuat menginventarisasi. Ya, walaupun pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah (Q.S. Lukman: 27).
Bila kita membicarakan tentang Allah dan qalam-Nya –yang disebutkan beberapa kali dalam al-Qur’an— setidaknya dapat dipahami dua interprestasi. Ya, yakni kedahsyatan pena sebagai simbol media tulis dan simbol ilmu pengetahuan. Pertama, pena sebagai simbol media tulis berarti mencerminkan alat luar biasa. Sejarah yang membuktikan. Kita harus berterima kasih kepada penulis-penulis zaman kuno. Kita bisa mengetahui dan mempelajari peradaban-peradaban kuno dari lembaran dan bongkahan artefak yang ditemukan para antropolog. Demikian pula pada masa keemasan Islam. Kala itu tidak lepas dari karya-karya ilmuan Yunani yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab pada masa  khalifah Harun Ar-Rasyid yang mencapai puncaknya pada masa khalifah al-Ma’mun.
Kedua, pena sebagai simbol ilmu pengetahuan. Dalam lintasan sejarah, posisi ilmu sebagai kebutuhan super pokok manusia tidak dapat disangkal. Jumawanya peradaban bangsa-bangsa di tiap zaman sangatlah ditopang oleh keilmuan yang mapan. Sivitas masyarakat sebagai kesatuan majemuk dengan interaksi individunya akan berjalan harmonis jika diiringi kematangan ilmu. Ilmu memang memiliki unsur dari apa yang selama ini kita pahami sebagai pengetahuan. Tetapi, ia juga mengandung dari apa yang selama ini dideskripsikan sebagai hikmah. Di samping itu, ilmu dalam Islam juga memiliki aspek dari ibadah dan memiliki tujuan untuk menjadi khalifah fil ardh, manusia yang diserahi amanat Tuhan untuk mengelola dan memelihara alam. Oleh sebab itu kita memiliki tanggung jawab berat di hadapan Allah (Zainuddin: 2003). Melihat interpretasi di atas, maka semestinya kiblat budaya pena berada pada umat Islam. Tapi realitasnya sepertinya tidak mengatakan demikian.
“Barang siapa menguasai media, dia akan menguasai dunia”, demikian bunyi salah satu pepatah modern. Telah banyak contoh dahsyatnya kekuatan media (pers) dalam mengantar perubahan dunia. Begitu besarnya pengaruh media dalam mengendarai wacana dan dukungan publik. Dalam penguasaan media, umat Islam cenderung kalah. Media-media besar dunia kebanyakan berasal dari Barat. Ironinya, media Barat tersebut didominasi oleh nonmuslim. Seperti di Amerika Serikat (AS). Negara adidaya dengan kebijakan yang memiliki pengaruh kuat dalam percaturan dunia ini medianya banyak ditunggangi para Zionis Yahudi. Seperti kesimpulan kajian yang dimuat di situs natall.com: “Kapan pun Anda menonton televisi, sekalipun stasiun penyiaran lokal yang kecil atau via televisi kabel atau satelit; kapan pun Anda menonton film feature di teater atau di rumah; kapan pun Anda baca surat kabar, buku, atau majalah. Semua informasi atau hiburan yang Anda terima itu diproduksi dan/atau disebarkan oleh media-media milik orang Yahudi.”
Tak ayal wacana Islamophobia begitu mudah dikonsumsi warga AS. Gerakan-gerakan anti-Islam di berbagai daerah akibat buta dengan sumber utama Islam tidak terelakkan. Tambahan pula, tatanan dunia baru (new order) yang digadang-gadang para anak-anak Yahweh itu pun menemukan supermasinya. Bayangkan, betapa mudahnya mereka mengintimidasi media yang mayoritas asetnya dikuasai untuk menyampaikan doktrin-doktrin yang tak jarang memojokkan Islam. Mengerikan bukan?
Senada dengan yang kita alami di Indonesia. Tidak heran bila kelakuan kebanyakan masyarakat tidak Islami. Tetapi lebih kebarat-baratan, atau juga agaknya lebih kejepang-jepangan atau malah kekorea-koreaan. Padahal aktor di dalamnya kebanyakan tidak pernah belajar ngaji sejak kecil bukan? Dan tingkah lakunya juga nyeleweng dengan etika Islam. Lha, muda-mudi Islam yang sudah ngaji dari kecil malah ikut-ikutan berpenampilan dan berkelakuan seperti aktor-aktor nonmuslim. Ya, lagi-lagi ini karena ulah media.
Peradaban Arab yang notabene merupakan kiblat ajaran Islam malah jarang kita temukan di layar televisi dan lembaran koran. Bahasa Arab yang merupakan bahasa Nabi Muhammad SAW, bahasa al-Qur’an, dan bahasa kita kelak di surga (HR. At-Thabrani) juga langka kita jumpai di media. Kita takhluk dengan media yang tidak seiring dengan ajaran Islam. Kita jadi lebih akrab dengan budaya sampah (negatif) nonmuslim. Ironinya, hal ini seolah menjadi kebiasaan yang sudah tidak dipermasalahkan (kebanyakan masyarakat).
Hal yang terpenting adalah bagaimana kita selaku umat Islam meningkatkan kesadaran kita dalam berbudaya pena dan berdakwah lewat tulisan. Ya, semampu kita. Walaupun masih dalam lingkup sederhana. Semisal memanfaatkan facebook dan twitter. Lebih-lebih jika aktif memposting di blog dan website dengan tulisan yang Islami dan mencerahkan. Lagi pula, internet menjadi media yang ampuh dalam penyebaran gagasan bukan? Mengingat lingkup pembaca nasional bahkan internasional. Apalagi bila aktif ikut serta dalam peluncuran buletin, majalah, koran dan lainnya. Lebih-lebih menulis buku. Wah, insya Allah pundi-pundi pahala dan rezeki Anda akan bertambah. Ya, Mari jadi mujahid pena Allah. Wallahu a’lam. (Kak Dian Ali)

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’anul Karim

Zainuddin, Drs., MA. 2003. Filsafat Ilmu: Perspektif Pemikiran Islam. Malang: Bayumedia Publishing.

0 komentar: