Bila kita membicarakan tentang Allah dan qalam-Nya
–yang disebutkan beberapa kali dalam al-Qur’an— setidaknya dapat dipahami dua
interprestasi. Ya, yakni kedahsyatan pena sebagai simbol media tulis dan simbol
ilmu pengetahuan. Pertama, pena sebagai simbol media tulis berarti
mencerminkan alat luar biasa. Sejarah yang membuktikan. Kita harus berterima
kasih kepada penulis-penulis zaman kuno. Kita bisa mengetahui dan mempelajari
peradaban-peradaban kuno dari lembaran dan bongkahan artefak yang ditemukan
para antropolog. Demikian pula pada masa keemasan Islam. Kala itu tidak lepas dari
karya-karya ilmuan Yunani yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab pada
masa khalifah Harun Ar-Rasyid yang
mencapai puncaknya pada masa khalifah al-Ma’mun.
Kedua, pena sebagai simbol
ilmu pengetahuan. Dalam lintasan
sejarah, posisi ilmu sebagai kebutuhan super pokok manusia tidak dapat
disangkal. Jumawanya peradaban bangsa-bangsa di tiap zaman sangatlah ditopang
oleh keilmuan yang mapan. Sivitas masyarakat sebagai kesatuan majemuk dengan
interaksi individunya akan berjalan harmonis jika diiringi kematangan ilmu. Ilmu memang memiliki unsur dari apa yang selama ini kita pahami
sebagai pengetahuan. Tetapi, ia juga mengandung dari apa yang selama ini
dideskripsikan sebagai hikmah. Di samping itu, ilmu dalam Islam juga memiliki
aspek dari ibadah dan memiliki tujuan untuk menjadi khalifah fil ardh, manusia
yang diserahi amanat Tuhan untuk mengelola dan memelihara alam. Oleh sebab itu
kita memiliki tanggung jawab berat di hadapan Allah (Zainuddin: 2003). Melihat
interpretasi di atas, maka semestinya kiblat budaya pena berada pada umat
Islam. Tapi realitasnya sepertinya tidak mengatakan demikian.
“Barang siapa menguasai media, dia akan
menguasai dunia”, demikian bunyi salah satu pepatah modern. Telah banyak contoh
dahsyatnya kekuatan media (pers) dalam mengantar perubahan dunia. Begitu
besarnya pengaruh media dalam mengendarai wacana dan dukungan publik. Dalam
penguasaan media, umat Islam cenderung kalah. Media-media besar dunia
kebanyakan berasal dari Barat. Ironinya, media Barat tersebut didominasi oleh
nonmuslim. Seperti di Amerika Serikat (AS). Negara adidaya dengan kebijakan
yang memiliki pengaruh kuat dalam percaturan dunia ini medianya banyak
ditunggangi para Zionis Yahudi. Seperti kesimpulan kajian yang dimuat di situs natall.com:
“Kapan pun Anda menonton televisi, sekalipun stasiun penyiaran lokal yang
kecil atau via televisi kabel atau satelit; kapan pun Anda menonton film
feature di teater atau di rumah; kapan pun Anda baca surat kabar, buku, atau
majalah. Semua informasi atau hiburan yang Anda terima itu diproduksi dan/atau
disebarkan oleh media-media milik orang Yahudi.”
Tak ayal wacana Islamophobia begitu mudah
dikonsumsi warga AS. Gerakan-gerakan anti-Islam di berbagai daerah akibat buta
dengan sumber utama Islam tidak terelakkan. Tambahan pula, tatanan dunia baru (new
order) yang digadang-gadang para anak-anak Yahweh itu pun menemukan
supermasinya. Bayangkan, betapa mudahnya mereka mengintimidasi media yang
mayoritas asetnya dikuasai untuk menyampaikan doktrin-doktrin yang tak jarang
memojokkan Islam. Mengerikan bukan?
Senada dengan yang kita alami di
Indonesia. Tidak heran bila kelakuan kebanyakan masyarakat tidak Islami. Tetapi
lebih kebarat-baratan, atau juga agaknya lebih kejepang-jepangan atau malah
kekorea-koreaan. Padahal aktor di dalamnya kebanyakan tidak pernah belajar
ngaji sejak kecil bukan? Dan tingkah lakunya juga nyeleweng dengan etika
Islam. Lha, muda-mudi Islam yang sudah ngaji dari kecil malah
ikut-ikutan berpenampilan dan berkelakuan seperti aktor-aktor nonmuslim. Ya,
lagi-lagi ini karena ulah media.
Peradaban Arab yang notabene merupakan
kiblat ajaran Islam malah jarang kita temukan di layar televisi dan lembaran
koran. Bahasa Arab yang merupakan bahasa Nabi Muhammad SAW, bahasa al-Qur’an,
dan bahasa kita kelak di surga (HR. At-Thabrani) juga langka kita jumpai di
media. Kita takhluk dengan media yang tidak seiring dengan ajaran Islam. Kita
jadi lebih akrab dengan budaya sampah (negatif) nonmuslim. Ironinya, hal ini seolah
menjadi kebiasaan yang sudah tidak dipermasalahkan (kebanyakan masyarakat).
Hal yang terpenting adalah bagaimana kita
selaku umat Islam meningkatkan kesadaran kita dalam berbudaya pena dan
berdakwah lewat tulisan. Ya, semampu kita. Walaupun masih dalam lingkup
sederhana. Semisal memanfaatkan facebook dan twitter. Lebih-lebih jika aktif
memposting di blog dan website dengan tulisan yang Islami dan mencerahkan. Lagi
pula, internet menjadi media yang ampuh dalam penyebaran gagasan bukan?
Mengingat lingkup pembaca nasional bahkan internasional. Apalagi bila aktif
ikut serta dalam peluncuran buletin, majalah, koran dan lainnya. Lebih-lebih
menulis buku. Wah, insya Allah pundi-pundi pahala dan rezeki Anda akan
bertambah. Ya, Mari jadi mujahid pena Allah. Wallahu a’lam. (Kak Dian Ali)
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’anul Karim
Zainuddin, Drs., MA. 2003. Filsafat Ilmu: Perspektif Pemikiran
Islam. Malang: Bayumedia Publishing.
0 komentar:
Posting Komentar