Minggu, 18 Agustus 2013




Lima puluh dua tahun silam (14 Agustus 1961), Gerakan Pramuka resmi diperkenalkan kepada khalayak. Semua organisasi kepanduan disatukan untuk merebak kungkungan kolonialisme, komunisme, fanatisme kedaerahan, dan politik praktis, serta mengisi pembangunan. Euforia dan antusiasme meledak. Gerakan Pramuka memperoleh tanggapan positif dari masayrakat luas. Dalam waktu relatif singkat, organisasi ini  berdiri dari kota sampai di desa.

Pasca peristiwa G.30.S/PKI meledak, dalam sekejap terjadi suatu revolusi sosial dengan timbulnya orde baru yang menuntut pemurnian Undang-Undang Dasar 1945 (1 Oktober 1965). Gerakan Pramuka juga tidak ketinggalan untuk menyesuaikan diri dan menyerasikan pelaksanaan tugas pokoknya dengan perkembangan masyarkat Indonesia pada waktu itu.

Langkah cerdas dilakukan. Dengan melihat realitas prosentasi terbesar rakyat Indonesia
berada di desa dengan sektor pertanian, para Pramuka menyelenggarakan kegiatan-kegiatan di bidang pembangunan pertanian dan pembangunan masyarakat desa. Menteri Pertanian dan Ketua Kwarnas Gerakan Pramuka mengeluarkan suatu Insruksi Bersama yaitu pembentukan satuan-satuan Karya Pramuka Tarunabumi (1966). Penemuan-penemuan baru para pemuda-pemuda desa menopang kehidupan masyarakat desa. Hal ini selanjutnya mengundang perhatian badan-badan internasional seperti FAO, UNICEF, ILO, dan World Scout Bureau, serta rentetan pujian dari masyarakat Indonesia.

Masalah-masalah sosial seperti kepadatan penduduk, urbanisasi, dan pengangguran tidak luput dari perhatian.  Menteri Traskop dan Ketua Kwarnas Gerakan Pramuka mengeluarkan suatu Instruksi Bersama, tentang partisipasi Gerakan Pramuka dalam penyelenggaraan Transmigrasi dan pembinaan Gerakan Koperasi (1970). Gerakan Pramuka juga mengarahkan perhatiannya kepada pendidikan kejuruan, untuk memberi bekal hidup kepada anak-anak dan pemuda, terutama bagi kalangan putus sekolah.

Namun, pascareformasi keadaan bergeser. Gerakan Pramuka seolah kehilangan roh. Berjalan gontai dan loyo. Mulai ditinggalkan para pengikutnya yang mengenyam pendidikan kepramukaan sedari sekolah dasar. Seiring dengan kembali beragamnya organisasi kepemudaan, pilihan pun beralih pada yang lebih menarik. Belum lagi kecenderungan modernitas kehidupan masyarakat mengkonstruk pemikiran kaula muda untuk lebih sibuk dengan tehnologi, konsumerisme, dan budaya populer.

Agar Tegap
Pascareformasi problematika yang dihadapi kaum muda kian kompleks. Krisis nasionalisme dan dekadensi moral merambah di mana-mana. Bahkan ranah pedesaan juga kebobolan. Gaya hidup yang berhaluan hedonis konsumeris, tren kebebasan seks (free sex), dan narkotika adalah momok masa depan bangsa.

Lebih komplit lagi. Meluapnya nasionalisme generasi muda diwarnai dengan kebobrokan tampuk perpolitikan kaum tua. Bukannya menjadi penuntas problem kebangsaan, strata elit tua malah menjadi bagian dari persoalan itu sendiri. Seperti yang dikatakan Komaruddin Hidayat, bangsa ini telah jatuh dalam kubangan self-destroying nation, yakni bangsa yang menghancurkan dirinya sendiri. Ya, ironis.

Gerakan Pramuka sejatinya berada pada garda terdepan membentuk kaum muda menjadi pemimpin dan
negarawan dengan idealitas tinggi. Pemaknaan mendalam (deep understanding) terhadap prinsip dasar, metode, dan kode kehormatan pramuka, serta nilai-nilai pancasila akan membentuk generasi adiluhung dan berkarakter. Menyingkirkan tikus-tikus birokrasi yang menggrogoti pilar-pilar bangsa. Oleh karena itu, pramuka masih dibutuhkan dan diharapkan sebagai tameng karakter kaula muda.

Model pendidikan kepramukaan bukan hanya bersifat semi militer dalam artian dibutuhkan sebagai garda cadangan seandainya penjajah kolonial kembali muncul. Ya, globalisasi telah melahirkan neokolonialisme, wajah penjajah baru yang siap memberangus bangsa dengan pendekatan terselubung. Kolonialisme kini bukan lagi dalam bentuk penindasan fisik, tetapi lewat pengobrak-abrikan ekonomi dan budaya.

Seperti yang diakui John Perkins dalam bukunya, Confessions of An Economic Hit Man (2004). Perkins adalah economic hit man (EHM) yang menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan politik dan ekonomi suatu korporasi. Mereka melakukannya melalui manipulasi ekonomi, kecurangan, penipuan, seks, pembunuhan, atau merayu orang untuk mengikuti cara hidup bobrok Amerika.

Hal ini penting disadari oleh setiap gugus depan sebagai wadah pembinaan terdepan. Pandangan terhadap masalah masyarakat global perlu dikaji sebagai orientasi gerak di aras lokal. Kaum muda yang menjadi korban kapitalisme dan asing terhadap budaya lokal yang menjadi representasi karakter bangsa murni harus diselamatkan. Kalangan pramuka yang tercerahkan dengan hal ini jangan serta merta memerangi mereka. Menjadi sosok idealis yang mengkhotbah setiap saat. Mereka akhirnya tidak nyaman dan menjauh.

Insan pramuka tidak selamanya harus mengasingkan diri dari baudaya modern. Lebih berorientasi pada kegiatan-kegiatan seperti berkemah, simaphore, api unggun, pionering, baris berbaris, atau yang lainnya. Ikon budaya pop (musik, nonton, jalan-jalan, bermian, film, fotografi, internet, game online, animasi, ngobrol) harus dijajal sebagai titik pijak gerakan. Ya, sembari memasuki dengan nilai-nilai substansial kepramukaan yang termanifestasi dalam satya dharma pramuka.

Di tengah pergantian era sistem sentralistik, tidak ada alasan lagi bagi Gerakan Pramuka  untuk tidak bermodifikasi agar kompatibel dengan semangat perubahan zaman. Paham dan pendekatan usang yang ditawarkan perlu didaurulang. Pendekatan kepramukaan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan nyata masyarakat (community oriented) akan ikut membantu menyulut empati masyarakat dan antusiasme kaula muda. Dengan begitu, pramuka pramuka berjalan tegap mengantarkan bangsa ini bermartabat. Salam pramuka!

FIQH VREDIAN AULIA ALI
Mahasiswa Fakultas Syariah UIN Maliki Malang dan Pegiat Gudep Komunitas Gerakan Pramuka Menulis (GPM) Banyuwangi



*) Dimuat di Malang Post, 14 Agustus 2013

0 komentar: